Suku Dayak Sampit, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki
kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat
dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam
masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak.
Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi:
Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi:
Pertama,
wujud kebudayan sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang
sering disebut dengan adat, yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia Dayak, tampak jelas di
dalam pelbagai upacara adat yang dilaksanakan berdasarkan siklus kehidupan,
yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam pelbagai upcara
adat yang berkaitan siklus perladangan;
Kedua,
wujud kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut
sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas manusia yang
berinteraksi yang senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di dasarkan
pada adat tata kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem
kehidupan sosial orang Dayak yang sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan
pada aturan-aturan mengenai hal-hal mana yang harus dilakukan dan mana yang
dilarang yang sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi sebagai pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat
Dayak;
Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya
manusia Dayak, misalnya seperti rumah panjang dan lain-lain.
1.
Sejarah Singkat Kota Sampit
Orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama
kali adalah orang yang bernama Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan
Selatan sekitar awal tahun 1800-an. Sebagai bukti sejarah, makam “Datu” Sampit
sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih. “Datu” Sampit mempunyai dua orang
anak yaitu Alm. “Datu” Djungkir dan “Datu” Usup Lamak. Makam keramat “Datu” Djungkir
dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang Tengah, Sampit.
Sedangkan makam “Datu” Usup Lamak berada di Basirih.
Sedangkan kata Sampit menurut versi buku “Merajut Sampit
dalam Persfektif Global” karya Drs. Wahyudi K. Anwar (Mantan Bupati
Kotawaringin Timur) berasal dari bahasa China atau pun berbagai versi lainnya
adalah salah besar. Buku tersebut menurut Drs H. Madjedi Filmansyah, MBA adalah
membodohi orang Sampit akan kebenaran Sejarah Sampit yang sebenarnya atau
bahasa Banjarnya buku Wahyudi tersebut “mambunguli urang banyak tentang sejarah
Sampit”.
Gubernur pertama yang ada di Kalimantan bernama Ir. Pangeran
Muhammad Nur (1950) Yang kedua bernama Dr. Murjani (1953) Yang ketiga bernama
RTA Milono (1956) Setelah masa jabatan RTA Milono, Kalimantan dimekarkan
menjadi 3 propinsi, yaitu :
1. Kalimantan Barat dengan Gubernur RA.
Afflus
2. Kalimantan Selatan dengan gubernur
Sarkawi
3. Kalimantan Timur
- Kalimantan Tengah (Masih dalam persiapan) dengan gubernur RTA. Milono yang berkantor di Kalimantan Selatan.
Tjilik
Riwut menjadi bupati kotawaringin, yang kantornya berada di Kota Sampit. Untuk
mewujudkan Palangkaraya sebagai propinsi terjadi gerakan yang dilaksanakan oleh
:
1. Simbar
2. Embang
Dan
pada saat itu, Tjilik Riwut masih menjabat sebagai Bupati Kotawaringin di
Sampit. Adapun Simbar, pada saat itu menjabat sebagai WEDANA, sedangkan Embang,
sebagai anak buah dari Simbar. Semua ini adalah merupakan trik-trik politik
yang dilakukan oleh seorang untuk mewujudkan ibukota Propinsi Kalimantan Tengah
berada di Palangkaraya.
Tahun 1957, Tjilik Riwut menjadi Gubernur Palangkaraya. Kemudian
6 bulan setelah itu, Kodam Tambun Bungai didirikan di kota Sampit.
- Yang
pertama kali menjabat sebagai Pangdam Tambun Bungai di kota Sampit, adalah
Letkol Darmo Sugondo pada tahun 1957
- Yang
kedua adalah Letkol Erman Harirustaman pada tahun 1959 - Yang ketiga adalah
Kolonel Darsono pada tahun 1960.
- Yang
keempat adalah Kolonel Sabirin Muhtar pada tahun 1962. Dan pada saat itu, hanya
ada 1 buah mobil jeep di kota Sampit.
Soekarno Datang ke Kota Sampit pada tanggal 9, bulan 9, tahun
1959, jam 9. Dalam pidatonya di kota Sampit, Tjilik Riwut mengatakan bahwa
kedatangan Bung Karno ke Kota Sampit adalah merupakan angka keramat. Kemudian,
dalam sambutannya di kota Sampit, Bung Karno mengatakan “ Saya datang bukanlah
sebagai seorang malaikat, akan tetapi saya datang sebagai seorang hamba ALLAH yang
sama seperti kalian yang ada disekitar saya.”
Soekarno sempat menikahi seorang perempuan yang berasal dari
Sampit yang bernama Lori Ismail, di Palangkaraya. Setelah Bung Karno datang,
pada bulan November, setelah terjadi Gajah Timpang. Arti Gajah Timpang tersebut
adalah pemotongan uang seribu rupiah menjadi seratus rupiah. Kemudian pada
tahun 1965, kembali terjadi, Gajah Lumpuh dari seribu rupiah menjadi satu
rupiah.
Kabupaten Kotawaringin Timur adalah salah satu
kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah. Ibu kota kabupaten ini terletak di
Sampit. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 16.496 km² dan berpenduduk kurang
lebih sebanyak 373.842 jiwa pada tahun 2010. Bupati Kotawaringin Timur adalah
Sopian Hadi.
2.
Suku Dayak Sampit
Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan
berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat
tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar. Agak berbeda dengan
kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai,
masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah
aliran sungai pedalaman Kalimantan.
Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya
ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku.
Menurut J.U. Lontaan, terdapat sekitar 405
sub suku Dayak yang memiliki kesamaan sosiologi kemasyarakatan
namun berbeda dalam adat-istiadat, budaya dan bahasa yang digunakan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi
kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar.
Setiap sub suku Dayak memiliki budaya yang unik dan memberi
ciri khusus pada komunitasnya. Misalnya tradisi memanjangkan telinga yang
dilakukan oleh wanita suku Dayak Kenyah, Kayan dan Bahau. Lalu ada juga tradisi
kayau atau perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh suku
Dayak Kendayan.
Itulah sekilas warna-warni sub suku Dayak yang menghuni pulau
Borneo. Semoga dengan makin mengenal keragaman budaya bangsa makin memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa.
Suku Dayak
Sampit
adalah subetnis Dayak Ngaju yang mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai
Sampit/sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Suku Sampit merupakan suku
baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 9,57% dari penduduk
Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Sampit tergabung ke dalam suku Dayak pada
sensus 1930.
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan
Tengah. Suku Ngaju merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan
merupakan 18,02% dari penduduk
Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku Dayak dalam
sensus 1930.
3. Kebudayaan Dayak Sampit
a. Bahasa Sampit
Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa
Melayu Dayak/Malayic Dayak (Austroanesi) yang dituturkan di kecamatan Baamang, Seranau
dan Mentawa Baru, Kabupaten Kotawaringin Timur, provinsi Kalimantan Tengah,
Indonesia. Bahasa Sampit salah satu dari 9 bahasa dominan yang terdapat di
Kalimantan Tengah.
Bahasa
Sampit adalah sebuah bahasa yang wilayah pemakaiannya meliputi kecamatan
Baamang, Mentawa Baru dan Seranau di kabupaten Kotawaringin Timur yaitu salah
satu kabupaten di propinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten ini berbatasan langsung
dengan dua kabupaten baru dari hasil pemekaran wilayah pada tahun 2002 yaitu
kabupaten Katingan dan kabupaten Seruyan.
Daerah
Sampit terletak di sepanjang tepi sungai Mentaya, dalam bahasa Ot Danum sungai
Mentaya ini disebut “batang danum kupang bulau” (‘sungai tempat emas’). Nama
yang populer di kalangan masyarakat ini menarik karena kehidupan masyarakat
Sampit dahulu tidak terpisahkan dari sungai. Daerah hunian masyarakat yang
terletak berseberangan di sepanjang aliran sungai ini memungkinkan penduduknya
bermata pencaharian utama sebagai peladang, pemilik kebun karet, dan pencari
rotan di hutan. Kotawaringin Timur sebagai sebuah kabupaten luas wilayahnya
17.000 Kilometer persegi. Setelah pemekaran wilayah penduduknya mencapai
284.043 jiwa. Kabupaten ini terdiri dari 10 kecamatan, yang ibukotanya adalah
Sampit yang terletak di Mentawa Baru.
Selain
di kota Sampit, bahasa Sampit juga dipakai di Baamang wilayah kecamatan Baamang
dan Mentaya Seberang wilayah Kecamatan Seranau.
Pada
mulanya penduduk asli penutur bahasa Sampit bermukim di kampung-kampung yang
saling berjauhan letaknya tersebar di daerah aliran sungai. Mobilitas
penduduknya terhambat akibat kondisi geografis yang terisolasi. Lagi pula
kampung-kampung itu kebanyakan terpencil oleh hutan rimba, rawa-rawa, bukit dan
sungai mempersulit kontak antar kelompok. Keadaan seperti itu menyebabkan
penutur bahasa yang sama setelah terpisah dalam kelompok-kelompok lama kelamaan
menjadi kendala saling paham semakin berkurang.
Dengan
demikian, karena kondisi geografis di sekitarnya, bahasa Sampit yang semula
mempunyai tingkat saling paham yang tinggi dengan bahasa Tamuan dan Mentaya 2
lama kelamaan terpisah sebagai bahasa yang berbeda. Sedangkan, wilayah pakai
bahasa Sampit di Sampit, Baamang dan Mentaya Seberang masih memiliki tingkat
pemahaman yang tinggi. Sampit mulai muncul sebagai isu nasional ketika terjadi
konflik antar etnik pada awal tahun 2001. Kemudian peristiwa itu memicu
bangkitnya semangat etnosentris etnik Dayak yang mempererat hubungan etnik
Sampit dan dayak Ngaju karena penghormatan kepada tradisi leluhur yang sama.
Hubungan budaya itu secara kronologis berkembang dalam perjalanan waktu karena
hubungan yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Mitologi
mereka menuturkan adanya hubungan etnis Sampit dan Dayak Ngaju karena tradisi
leluhur yang dipelihara dan melalui bahasa ritual yang dimanfaatkan menjalin
hubungan dengan para leluhur mereka merupakan bukti kebersamaan Sampit dan
Dayak Ngaju.
Budaya
Sampit yang peduli terhadap tradisi itu memperlihatkan bukti adanya pertalian
antar bahasa dan budaya Sampit sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Bukti kebersamaan etnik Sampit dan Dayak Ngaju lainnya juga dapat dilihat dari
adanya bangunan peninggalan berupa Sandung di wilayah Sampit dan Mentaya
seberang. Sandung, merupakan bangunan tinggi berukuran kecil terbuat dari kayu
besi yang dihiasi ukiran-ukiran indah dan ditempatkan di pekarangan rumah,
tempat untuk menyimpan abu tulang belulang nenek moyang atau kerabat yang telah
meninggal. Di sekitar sandung berdiri pula tiang-tiang peringatan (sapundu)
penyembelihan hewan korban yang didirikan setelah upacara tiwah.
Tiwah
adalah upacara pembakaran tulang dari orang yang telah meninggal, merupakan
upacara yang terpenting dalam ritus kematian masyarakat Dayak ngaju. Hal ini
menunjukkan bahwa budaya Sampit juga mengenal adanya upacara tiwah dalam
rangkaian ritual adat kematian.
Masih
terdapat silang pendapat tentang status bahasa Sampit di kalangan para sarjana.
Pendapat yang dikemukakan oleh Hudson (1967) secara tersurat mengenai status
bahasa Sampit menarik perhatian karena ia memasukan bahasa Sampit ke dalam
subkelompok Melayu. Pendapat ini tidak didukung oleh sejumlah fakta yang
dikemukakan oleh sarjana lain yang berpendapat bahwa bahasa Sampit lebih dekat
hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju.
b. Agama dan Keyakinan
Etnis
Dayak sebagai salah satu etnis di Indonesia, merupakan etnis terbesar yang
menghuni pulau Kalimantan. Etnis ini tersebar merata mulai dari Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Timur. Etnis
Dayak umumnya tinggal di daerah aliran sungai dan daerah pantai. Hal ini dapat
diketahui dengan tumbuhnya kota-kota ditepi sungai besar, seperti Pontianak
yang berada di muara sungai Kapuas, Palangkaraya yang berada di tepi laut Jawa,
Banjarmasin yang berada di aliran sungai Barito, Balikpapan dan Samarinda yang
berada di tepi selat Makassar.
Menurut kepercayaan Dayak, asal–usul nenek
moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ketujuh ke dunia dengan
menggunakan Palangka Bulau (tandu suci yang terbuat dari emas). Mereka
diturunkan dari langit ke dunia di empat tempat yaitu: di Tantan Puruk Pamatuan
di hulu Sungai Kahayan dan Barito,
di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), di Datah Takasiang,
hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), dan di Puruk Kambang
Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian tumbuh dan
berkembang dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak
Iban dan Hebab, Dayak Klemantan atau
Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak pada
awalnya adalah Hindu Kaharingan yang berarti “air kehidupan” (Koentjaraningrat,
1990). Agama Islam mulai berkembang sejak abad ke-XV ketika kerajaan Hindu
Mulawarman mengalami kemunduran. Agama Islam di Kalimantan berkembang dengan
pesat terutama di daerah pesisir selatan mulai dari Balikpapan di Kalimantan
Timur, Banjarmasin di Kalimantan Selatan hingga Palangkaraya di Kalimantan
Tengah.
Penyebaran Islam
ini melalui interaksi dan pernikahan antara etnis Dayak dengan etnis pendatang
yang beragama Islam seperti Madura, Jawa, Arab dan Melayu. Adanya interaksi dan
perkawinan campuran tersebut banyak mendorong etnis Dayak untuk masuk Islam,
sedangkan etnis Dayak yang tidak mau memeluk agama Islam umumnya menyingkir ke
pedalaman dan mempertahankan adat istiadat. Sehingga terjadilah pameo, etnis
Dayak yang beragama Islam umumnya tinggal di pesisir pantai dan orang Dayak non
Islam mengungsi di pedalaman.
Suku
Dayak terbagi dalam Dayak Muslim dan Non
Muslim. Yang termasuk Dayak Muslim adalah Suku
Dayak Bakumpai, Suku Dayak Bukit, Suku Dayak Sampit, Suku Dayak Paser, Suku
Dayak Tidung, Suku Dayak Melanau, Suku Dayak Kedayan, Suku Dayak Embaloh, Suku
Dayak Sintang, Suku Dayak Sango dan Suku Dayak Ngabang.
Sedangkan
suku Dayak Non Muslim jumlahnya lebih banyak lagi. Yaitu Suku
Dayak Abal, Suku Dayak Abai, Suku Dayak Banyadu, Suku Dayak Bakati, Suku Dayak
Bentian, Suku Dayak Benuaq, Suku Dayak Bidayuh, Suku Dayak Darat, Suku Dayak
Dusun, Suku Dayak Dusun Deyah, Suku Dayak Dusun Malang, Suku Dayak Kenyah, Suku
Dayak Lawangan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Mali, Suku Dayak Mayau, Suku
Dayak Meratus, Suku Dayak Mualang, Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Ot Danum, Suku
Dayak Samihim dan lain-lain yang diperkirakan jumlahnya mencapai tiga ratus sub
suku.
c. Aktifitas dan Hasil Kesenian
- Suling Balawung
Suling balawung
merupakan pembuktian bahwa apresiasi kedudukan wanita dalam masyarakat dayak
bukan lah hanya isapan jempol semata ini di butikan dengan
penghargaan tertinggi terhadap peran kaum wanita dayak turut di berikan dalam
aspek apresiasi bermusik yang menciptakan suling balawung sebagai bentuk suling
khusus bagi perempuan dayak.
- Karungut
Menurut kepercayaan
suku dayak di kalimantan tengah , pada jaman dahulu manusia di turunkan dari
langit bersamaan palangka bulau ( tetek tatum ). pada waktu berada di bumi
paangka bulau adalah alat untuk menurunkan manusia dari langit ke bumi oleh
ranying hatalla langit atau dewa para petinggi suku dayak . maka , dari itulah
mulai adanya alunan suara atau tembang-tembang. maka sejak itulah karungut
muncul.bahasa yang digunakan dalam karungut adalah bahasa sangiang atau sejenis
bahasa dayak ngaju. yang sangat tinggi sastra nya di gunakan dalam upacara adat
dan berkomunikasi dengan roh halus.
- Tari Dayak Sampit
Tarian
bausik rasa merupakan garapan baru yang diolah secara kontemporer tanpa meninggalkan
akar budaya dayak pedalaman sampit. Yang bermakna memadu kasih. mengisahkan
serangkaian perjalanan muda mudi dayak sampit dari awal pertemuan, masa pacaran
hingga perkawinan..dengan kekuatan cinta yang mengakar , menjadikan cinta
mereka abadi sampai maut memisahkan.